Senin, 14 Maret 2011

Hasil Kuliah Lapangan Antropologi “Malioboro”

21 desember 2010 mahasiswa psikologi UIN Sunan kalijaga semester 5 melakukan observasi yang bertemakan “malioboro”. Dalam hal ini, kami secara khusus melakukan observasi tentang perilaku maupun tatanan masyarakat dalam lingkup lingkungan malioboro. Ada banyak fenomena menarik yang dapat ditemui dalam malioboro, bagaimana tempat itu menjadi salah satu yang menjadi pusat perekonomian yogyakarta, menjadi salah satu tujuan dari kunjungan wisatawan domestik maupun luar negeri, serta menjadi bagian dari sejarah kota jogja istimewa.
Dalam kesempatan itu, saya mewancarai seorang pedagang kerajinan yang terletak disepanjang jalan Malioboro. Sebut saja namanya ibu Mira, beliau tinggal di Bantul. Beliau  sudah cukup lama berdagang disitu dan banyak tahu tentang Malioboro. Ibu Mira berdagang sejak tahun 1999. Beliau adalah seorang sarjana IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN) jurusan komunikasi dan penyiaran islam lulusan tahun 1991.
Ibu Mira memperoleh barang dagangannya melalui suatu pusat produksi kerajinan yang terletak di Bantul. Industri kerajinan ini bersifat Home Industri dan dikelola bersama-sama oleh ibu-ibu setempat yang dibantu anak-anak mereka. Banyak variasi yang dihasilkan oleh industri ini sehingga banyak pilihan untuk menikmati keindahan karya mereka. Sebenarnya konsep kerajinan yang mereka hasilkan adalah hasil dari kreatifitas anak-anak ISI Yogyakarta. Mereka telah lama bekerja sama dengan ibu-ibu dan warga setempat untuk membuat kerajinan yang dapat dimanfaatkan serta dapat menjadi mata pencaharian masyarakat dan mengurangi jumlah pengangguran.
Sebenarnya pedagang kerajinan yang ada disepanjang jalan Malioboro tidak hanya ibu Mira, banyak dari pedagang itu juga memperoleh hasil kerajinan dari lokasi yang sama. Kerajinan yang dipasarkan diletakkan dalam sebuah gudang di belakang salah satu toko yang ada dijalan Malioboro. Setiap pagi ibu Mira berangkat pagi dari Bantul menuju Malioboro dan langsung ke gudang penyimpanan kerajinan. Disitu terdapat seseorang yang bertugas sebagai penjaga gudang, pembawa barang kerajinan dan tukang sapu. Tiap pedagang membayar mereka setiap hari. Sekali angkut sekitar 10ribu rupiah. Tidak hanya itu, mereka juga rutin membayar pada petugas penjaga Malioboro setiap seminggu sekali.
Pertama kali menemui pedagang itu saya menyamar sebagai seorang pembeli dan hendak mencari kerajinan. Ketika itu saya bertanya pada ibu Mira harga gelang (dengan bahasa indonesia), Kala itu 3 gelang harganya Rp. 20.000,- kemudian setelah banyak bertanya dan kemudian tahu bahwa ibu Mira adalah orang Yogyakarta asli dan mengetahui saya orang Purworejo kami melanjutkan bercakap-cakap  dengan bahasa jawa. Ibu itu mengatakan “waah... la ra ngomong wet mau nek wong purworejo?” Kemudian harganya turun drastis, 4 gelang hanya Rp. 10.000,- . Ternyata tarif yang dipasang untuk tiap kerajinan berbeda untuk tiap pelanggan. Orang jawa asli pastinya bisa memperoleh dengan harga yang murah apalagi jika ditawar. Sedangkan orang yang terlihat elit memperoleh harga hingga 2 kali lipat, wisatawan asing bahkan dipatok tarif hingga 4 kali lipat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar